PM China Li Qiang – Kedatangan Perdana Menteri China, Li Qiang, di Indonesia langsung menjadi sorotan publik dan media. Bukan sekadar lawatan biasa, kehadiran Li Qiang kali ini menandai babak baru hubungan bilateral yang semakin intens antara dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta dengan pengawalan ketat dan sambutan hangat, Li Qiang disambut langsung oleh Menteri Investasi Indonesia, Rosan Roeslani, yang tampak all out dalam menyambut tamu istimewa dari Beijing tersebut.
Aura pertemuan ini begitu simbolis. Bendera merah putih dan merah kuning berkibar beriringan, menggambarkan dua raksasa ekonomi yang tengah membangun jembatan kerjasama yang lebih kokoh—dari sektor investasi, teknologi, hingga energi bersih. Tapi tentu saja, di balik senyum dan jabat tangan itu, ada kepentingan nasional yang tengah di pertaruhkan dan di pertukarkan secara situs slot resmi.
Rosan Tak Hanya Menyambut, Tapi Menggiring Investasi
Sosok Rosan Roeslani, Menteri Investasi sekaligus tokoh bisnis kawakan, memainkan peran lebih dari sekadar penyambut tamu negara. Ia tampil sebagai juru runding awal, sebagai diplomat ekonomi yang paham betul pentingnya mengemas sambutan menjadi sinyal terbuka bagi arus modal asing. Dalam gestur yang nyaris teatrikal namun penuh makna, Rosan menyodorkan peluang investasi Indonesia kepada Li Qiang—dari megaproyek Ibu Kota Nusantara, pembangkit energi hijau, hingga kawasan industri strategis yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Pertemuan pertama ini menjadi “panggung diplomasi bisnis” yang tak kalah panas dari ruang negosiasi bilateral resmi. Li Qiang dan Rosan berbincang dalam suasana yang terlihat hangat, namun jelas intens. Ada banyak yang di pertaruhkan di sini: perluasan proyek Belt and Road Initiative (BRI), keberlanjutan pendanaan infrastruktur, dan terutama, arus masuk teknologi Tiongkok ke dalam sektor strategis Indonesia.
Investasi atau Intervensi? Publik Bertanya-Tanya
Tentu saja, sambutan meriah dan kedatangan Li Qiang tak lepas dari sorotan tajam publik. Banyak yang menyambut positif potensi kerjasama yang di tawarkan, tapi tak sedikit pula yang mempertanyakan: seberapa besar kedaulatan ekonomi Indonesia bisa bertahan saat ‘raksasa merah’ semakin dalam masuk ke berbagai sektor domestik?
Beberapa kelompok masyarakat sipil bahkan mulai melempar athena gacor terhadap ketergantungan pada investasi Tiongkok, terutama dalam hal teknologi dan manufaktur. Proyek kereta cepat, pelabuhan, hingga smelter nikel yang di biayai dan di kelola oleh perusahaan Tiongkok kini menjadi bahan evaluasi: apakah kita sedang membangun kekuatan, atau justru menyerahkan kendali secara perlahan?
Makna Simbolik Lawatan Pertama
Ini adalah kali pertama Li Qiang menginjakkan kaki di Indonesia sebagai Perdana Menteri sejak menjabat. Bukan tanpa alasan ia memilih Jakarta sebagai salah satu destinasi kunjungannya. Indonesia punya posisi strategis, baik secara geografis maupun politik, di kawasan Asia Tenggara. Dan lebih penting lagi, Indonesia adalah pasar besar dengan sumber daya alam yang menggoda para investor global.
Kunjungan ini mengirim pesan kuat: Beijing ingin mempererat pengaruhnya, dan Indonesia menjadi target utama. Tapi pertanyaannya, mampukah Indonesia menggiring agenda nasionalnya sendiri dalam pusaran kerjasama ini? Atau, akankah kita justru terseret dalam arus besar kebijakan ekspansionis ekonomi Tiongkok?
Li Qiang hadir membawa janji modal dan peluang. Tapi dalam dunia diplomasi dan geopolitik, setiap janji punya harga. Dan Rosan, sebagai wajah investasi Indonesia, kini berada di garis depan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain aktif dalam panggung ekonomi global.